MOST RECENT

Contoh narasi berisi fakta


Ir. Soekarno


Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama adalah seorang nasionalis. Ia memimpin PNI pada tahun 1928. Soekarno menghabiskan waktunya di penjara dan di tempat pengasingan karena keberaniannya menentang penjajah.
Soekarno mengucapkan pidato tentang dasar-dasar Indonesia merdeka yang dinamakan Pancasila pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Soekarno bersama Mohammad Hatta sebagai wakil bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Ia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1948. Soekarno dikembalikan ke Yogya dan dipulihkan kedudukannya sebagai Presiden RI pada tahun 1949.
Jiwa kepemimpinan dan perjuangannya tidak pernah pupus. Soekarno bersama pemimpin-pemimpin negara lainnya menjadi juru bicara bagi negara-negara nonblok pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Hampir seluruh perjalanan hidupnya dihabiskan untuk berbakti dan berjuang.


Contoh narasi fiksi:


Aku tersenyum sambil mengayunkan langkah. Angin dingin yang menerpa, membuat tulang-tulang di sekujur tubuhku bergemeretak. Kumasukkan kedua telapak tangan ke dalam saku jaket, mencoba memerangi rasa dingin yang terasa begitu menyiksa.

Wangi kayu cadar yang terbakar di perapian menyambutku ketika Eriza membukakan pintu. Wangi yang kelak akan kurindui ketika aku telah kembali ke tanah air. Tapi wajah ayu di hadapanku, akankah kurindui juga?
Ada yang berdegup keras di dalam dada, namun kuusahakan untuk menepiskannya. Jangan, Bowo, sergah hati kecilku, jangan biarkan hatimu terbagi. Ingatlah Ratri, dia tengah menunggu kepulanganmu dengan segenap cintanya.

Contoh karangan persuasi pada umumnya:

Salah satu penyakit yang perlu kita waspadai di musim hujan ini adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Untuk mencegah ISPA, kita perlu mengonsumsi makanan yang bergizi, minum vitamin dan antioksidan. Selain itu, kita perlu istirahat yang cukup, tidak merokok, dan rutin berolah raga.
Contoh deskripsi berupa fakta:

Hampir semua pelosok Mentawai indah. Di empat kecamatan masih terdapat hutan yang masih perawan. Hutan ini menyimpan ratusan jenis flora dan fauna. Hutan Mentawai juga menyimpan anggrek aneka jenis dan fauna yang hanya terdapat di Mentawai. Siamang kerdil, lutung Mentawai dan beruk Simakobu adalah contoh primata yang menarik untuk bahan penelitian dan objek wisata.


Contoh deskripsi berupa fiksi:

Salju tipis melapis rumput, putih berkilau diseling warna jingga; bayang matahari senja yang memantul. Angin awal musim dingin bertiup menggigilkan, mempermainkan daun-daun sisa musim gugur dan menderaikan bulu-bulu burung berwarna kuning kecoklatan yang sedang meloncat-loncat dari satu ranting ke ranting yang lain.


Contoh karangan eksposisi pada umumnya:

Pada dasarnya pekerjaan akuntan mencakup dua bidang pokok, yaitu akuntansi dan auditing. Dalam bidang akuntasi, pekerjan akuntan berupa pengolahan data untuk menghasilkan informasi keuangan, juga perencanaan sistem informasi akuntansi yang digunakan untuk menghasilkan informasi keuangan.
Dalam bidang auditing pekerjaan akuntan berupa pemeriksaan laporan keuangan secara objektif untuk menilai kewajaran informasi yang tercantum dalam laporan tersebut.


Contoh karangan argumentasi pada umumnya:

Jiwa kepahlawanan harus senantiasa dipupuk dan dikembangkan karena dengan jiwa kepahlawanan. Pembangunan di negara kita dapat berjalan dengan sukses. Jiwa kepahlawanan akan berkembang menjadi nilai-nilai dan sifat kepribadian yang luhur, berjiwa besar, bertanggung jawab, berdedikasi, loyal, tangguh, dan cinta terhadap sesama. Semua sifat ini sangat dibutuhkan untuk mendukung pembangunan di berbagai bidang.

06.14 | Posted in | Read More »

Berbagai Macam konflik di Indonesia


Konflik sebagai suatu gejala social, akan kita dapatkan dalam kehidupan bersama artinya konflik merupakan gejala yang bersifat universal. Tidak ada kehidupan bersama tanpa adanya konflik, baik pada skala besar maupun skala kecil. Baik menyangkut konflik antar individu, antar kelompok maupun antara individu dengan kelompok.

Konflik berskala kecil akan menyebabkan sedikit orang dalam konflik tersebut dan tidak akan mencakup area yang luas. Konflik antar individum , konflik dalam keluarga adalah konflik berskala kecil. Konflik antar suku dan konflik antar Negara merupakan konflik berskala besar yang cakupan areanya sangat luas dan menyebabkan semakin banyaknya orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Disamping berdasarkan skala besar kecilnya konflik. Konflik social dapat dibedakan menjadi beberapa macam. Berikut ini adalah macam-cam konflik social dan penjelasannya. Menurut Soerjono Soekanto ada beberapa konflik sosial :


Konflik antarpribadi

Konflik antar individu, adalah konflik social yang melibatkan individu di dalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan atau juga ketidak cocokan antara individu satu dengan individu lain. Masing-masing individu bersikukuh mempertahankan tujuannya atau kepentinganya masing-masing.

Misalnya dua remaja yang berpacaran. Si Pria adalah perokok berat dan si wanita tidak senang pacarnya merokok. Kalau masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan si wanita melarang pacarnya merokok dan pacarnya tadi tidak mau berhenti merokok atau tidak mau mendengarkan permintaan pacarnya, maka terjadilah konflik antar individu dan jika berlarut terus dapat terjadi mereka putus cinta dan tidak berpacaran lagi.


Konflik antar etnik

Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudfayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sacral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.

Misalnya konflik etnis di Kalimantan antara suku Dayak dan Suku Madura pendatang. Bagi suku Madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku Dayak. Kesalah fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik Dayak dan Madura yang menelan korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.


Konflik antar agama

Keyakinan dalam agama adalah keyakinan yang bersifat mutlak, artinya tan[a pembanding. Beda dengan ilmu pengetahuan kebenarannya bersifat relative. Jika ditemukan teori baru dan menyangkal teori lama, maka teori lama akan diganti dengan teori baru. Agama tidak demikian kebenaran bersifat mutlak dengan mrnrrima ajaran agama tersebut dengan keyakinan bahwa apa yang diajarkan dalam agama adalah benar.

ifat agama yang demikian sering menimbulkan berbagai konflik baik antar umat dalam satu agama, umat antar agama, maupun umat beragama dengan pemerintah. Potensi konflik yang berkaitan dengan agama tersebut pemerintah mencanangkan tiga kerukunan yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan antar agama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.

Berangkat dari anggapan dasar yang mutlak tersebut konflik agama dapat menyebabkan bencana yang besar karena mereka berkeyakinan pada jalan yang benar dan berani melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.; Konflik di Irlandia Utara antara Kristen Protestan dan Katholik adalah contoh dari konflik antar agama. Penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Indonesia adalah contoh konflik antar agama.


Konflik Antar Golongan atau Kelas Sosial

Konflik yang terjadi antar kelas social biasanya berupa konflik yang bersifat vertical; yaitu konflik antara kelas atas dan kelas social bawah. Konflik ini terjadi karena kepentingan yang berbeda antara dua golongan atau kelas social yang ada.

Golongan buruh yang menuntut perbaikan upah kepada pemerintah maupun perusahaan adalah wujud dari salah satu konflik antar golongan. Pemutusan hubungan kerja ( PHK ) adalah wujud dari konflik social antar kelas social yang ada. Pemerintah biasanya menjadi mediator agar kedua kepentingan kelas yang berkonflik dapat mencapai kesepakatan dan perusahaan tetap dapat menjalankan aktivitas produksinya.

Jika kesepakatan tidak tercapai maka perusahaan akan yerganggu proses produksinya dan buruh akan kehilangan pekerjaanya, jika terjadi demikian maka pemerintah akan terkena dampak dari konflik antar golongan yang ada.

Konflik antar Ras

Ras atau warna kulit merupakan cirri yang dibawa suatu masyarakat sejak lahir. Merreka hidup dalam suatu komunitas dan mengembangkan berbagai kesadaran kelompok dan solidaritas diantara mereka. Oleh karena itu konflik yang terjadi karena perbedaan warna kulit dapat meluas karena adanya solidaritas diantara mereka yang memiliki warna kulit sama.

Politik perbedaan warnas kulit ( Aparheid ) yang terjadi di Afrika Selatan merupakan konflik yang di dasarkan atas perbedaan warna kulit. Orang kulit hitam dan orang kulit putih memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dan pada dasarnya merendahkan harkat dan martabat orang kulit hitam.

Konflik antar Ras biasanya sukar dipisahkan dari konflik antar suku, karena biasanya akan berimbas pada suku dengan kulit yang sama diantara mereka.


Konflik antar Negara

Konflik antar Negara adalah konflik yang terjadi antara dua Negara atau lebih. Mereka memiliki perbedaan tujuan Negara dan berupaya memaksakan kehendak negaranya kepada Negara lain. Perang dingin dahulu antara Blok Timur (Negara Uni Soviet) dan sekutunya dan Negara Barat Amerika dan Sekutunya merupakan konflik antar Negara sebelum pecahnya negaram Uni Soviet. Perang dingin antar Pakistan dan India dengan masalah Khasmir antara Korea Utara dan Korea Selatan merupakan wujud dari konflik antar Negara. Sedangkan konflik yang baru-baru ini terjadi adalah konflik antara Palestina dengan Israel.


Sepintas Konflik di Indonesia
Published June 8th, 2008 in Indonesiaku.

Indonesia sepertinya kurang seru kalau tidak ada konflik. Serasa hambar kalau di Indonesia itu damai-damai saja. lihat saja liputan media mainstream baru-baru ini.

Deddy vs Roy
Dua orang yang sedang cari sensasi dengan membuat konflik yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Deddy memanfaatkan profil Roy yang kontroversial di mata publik. Sedangkan Roy memanfaatkan dunia Deddy yang ‘basah’ untuk melakukan debat kusir sesuai dengan hobinya berhubung dengan ‘blunder’nya terhadap komunitas blogger dan hacker.

FPI vs AKKBB yang berlanjut dengan FPI vs NU
Perseteruan yang dimulai dari konspirasi pengalihan isu (dari sawung) kenaikan BBM yang akan naik lagi dengan memanfaatkan sifat plin-plan pemerintahan SBY dalam membuat ketegasan masalah Ahmadiyah qodiyyan. Entah dalam kedua perseteruan itu yang mana yang merupakan perseteruan utama. apakah kejadian penuh dengan adegan vulgar di monas atau penabuhan genderang perang antar laskar paramiliter kedua organisasi yang menjual label dan simbol agama tertentu.

Apakah karena perseteruan yang pertama sudah mulai terdengar ‘basi’ karena tidak sedikit orang-orang yang berpandangan cukup bijak dalam menilai kejadian ini sehingga membongkar kedok konflik horizontal sebagai pengalihan isu kenaikan BBM? dalam kepanikan, lalu dibuat skenario berikutnya yaitu konflik antar organisasi massa yang berlabel agama dengan basis massa yang tidak seimbang. tentunya perseteruan kedua akan juga mengundang perhatian dari luar negri untuk melakukan sorotan dan penelitian terhadap suatu agama (over-generalisasi?) dengan data sampel yang (dinilai) cukup valid (overfitting?).

Kasus Skandal Anggota DPR
Bukan Indonesia namanya kalau kasus-kasus yang berbau aktivitas seksual tidak terangkat ke permukaan. Ketika strategi berbasis kekerasan tidak mempan lagi, masih ada cerita lain yang menarik bagi sebagian bangsa ini, Skandal/Pelecehan Seksual. Parahnya, kasus skandal atau pelecehan seksual bukan menimpa orang-orang biasa atau selebritis (mungkin sudah biasa) tetapi menimpa anggota legislatif dalam cakupan negara. Lucunya, ada kasus skandal yang jika buktinya dibeberkan maka sang istri mungkin akan menuntut cerai. Adapula kasus pelecehan seksual yang anehnya dari bukti-bukti dokumen visual memperlihatkan bahwa sang korbanlah yang memegang alat dokumentasi sambil tersenyum tetapi dalam kesempatan lain tampil bak opera sabun. Ah, aneh-aneh saja. Entah mana yang benar, yang jelas kalau tujuannya untuk mengalihkan perhatian rakyat bisa dibilang ‘agak’ berhasil juga.

Ataukah sebenarnya kejadian-kejadian belakangan ini dikondisikan untuk membingungkan rakyat kecil sehingga secara ajaib akan bermunculan sosok-sosok yang berlogo superhero bagi masyarakat Indonesia yang tidak lain bertujuan untuk men’curi start’ event yang akan terjadi tahun depan?

Memang kita tidak boleh hanya sekedar menduga-duga namun analisis kondisi yang tidak hanya melihat apa yang di depan mata amat perlu agar tidak terjebak dalam situasi yang salah di kemudian hari “Sepintas Konflik di Indonesia”

05.47 | Posted in | Read More »

Cerita Cinta Nyata Genta

Ketika Putri mendadak memutuskan cintanya, Genta berubah jadi pemurung. Dan ketika gadis pujaannya itu menikah diam-diam di Surabaya, Genta betul-betul frustrasi. Dia tak mau makan-minum sehingga akhirnya terkena tifus Betapa ironis, ketika mantan kekasihnya tengah menikmati bulan madu di Bali, dia justru terbaring di rumah sakit Lalu.. apakah yang dapat dilakukan seorang ayah untuk menghibur anak lelakinya yang patah hati? Untuk membangkitkan kembali semangat juangnya yang hampir mati? Genta adalah anak yang cemerlang. Sejak kecil dia selalu jadi bintang kelas. Namun, anak itu pendiam dan perasa.

“Kamu betul-betul menuruni darah Ayah. Selalu serius, mendalam, dan penuh ketulusan kalau mencintai perempuan. Sehingga, kalau putus cinta betul-betul terpuruk. Padahal, seperti kata peribahasa, dunia ini tidak sedaun kelor. Di dunia ini begitu banyak wanita, Nak,” ujarku saat berbicara dari hati ke hati sepulangnya ia dari rumah sakit.
“Tapi tidak ada yang secantik dan sebaik Putri, Yah. Dia yang dulunya tak pakai kerudung, kini mulai belajar pakai kerudung. Tapi kenapa ketika keislamannya semakin sempurna, kok dia tega meninggalkan saya dan menikah dengan manajer perusahaan elektronik itu?”
“Sudahlah, Nak. Sesuatu yang lepas dari tangan kita memang selalu kelihatan indah. Begitu pula kalau kita kehilangan perempuan yang kita cintai. Mata kita tertutup bahwa di sekeliling kita masih banyak perempuan lain yang mungkin lebih baik dari dia.”
“Aku baru sekali ini jatuh cinta, Yah. Selama SMU dan kuliah, waktuku lebih banyak aku habiskan untuk belajar, dan organisasi ilmiah di kampus.”
“Ayah paham, Nak. Ayah mau buka rahasia. Sewaktu SMU dulu Ayah mengalami nasib yang mirip kamu. Cinta tak kesampaian, padahal Ayah dan Rini, nama perempuan itu, sama-sama saling mencintai. Bertahun-tahun Ayah nyaris frustrasi dan tak pernah mampu menghilangkan bayang wajahnya. Sampai kemudian, lima tahun setelah itu, Tuhan mempertemukan Ayah dengan ibumu. Dia wanita tercantik di Cianjur ketika itu. Baru lulus SMU. Banyak sekali pemuda yang mengincar ibumu. Entahlah, kenapa dia mau menikah dengan Ayah yang ketika itu masih berstatus mahasiswa dan belum punya pekerjaan, kecuali menjadi penulis free lance di koran. Kami menikah hanya dua minggu sejak pertama kali bertemu.” Genta termenung. Mungkin ia merenungkan kalimat demi kalimat yang tadi aku ucapkan.
“Nak, laki-laki itu ibarat buah kelapa. Makin tua, makin bersantan. Biarpun jelek, botak dan gendut, kalau punya kedudukan, berharta, dan terkenal, maka gadis-gadis muda antri untuk mendapatkannya. Untuk sekadar jadi teman kencan maupun istri sungguhan.”
“Benarkah?”
“Ya. Dengan modal hanya sebagai wartawan senior dan novelis top saja, Ayahmu ini seringkali digilai oleh perempuan-perempuan muda. Mereka berusaha mencuri perhatian Ayah dengan berbagai cara. Kalau Ayah tidak kuat iman, Ayah mungkin sering kencan dengan banyak perempuan. Kalau Ayah kurang sabar, Ayah mungkin beristri dua, tiga, atau bahkan empat.”
“Apa yang membuat Ayah bertahan dengan Ibu?”
“Dia perempuan yang hebat. Kesabaran, ketulusan, kehangatan dan kasih sayangnya luar biasa. Hal itu telah ditunjukkannya saat Ayah masih belum punya apa-apa, belum diperhitungkan orang, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak. Kami menikah dalam keadaan miskin. Bahkan cincin kawin untuk ibumu baru Ayah belikan lima tahun setelah pernikahan.Tahun-tahun pertama pernikahan, kami sering makan hanya nasi dan garam saja. Namun tak pernah sekalipun Ayah mendengar ibumu mengeluh atau menunjukkan air muka masam. Sebaliknya, Beliau selalu berusaha membesarkan hati Ayah. Bahwa Ayah punya potensi. Bahwa Ayah suatu hari nanti akan jadi orang hebat di bidang sastra maupun jurnalistik. Dua puluh delapan tahun perkawinan dengan ibumu sungguh merupakan perjalanan hidup yang amat berarti bagi Ayah. Itulah yang membuat Ayah tak pernah mau berpaling kepada perempuan lain. Rasanya sungguh tak adil, setelah menjadi orang yang terkenal dan punya uang, Ayah lalu mencari perempuan lain untuk membagi cinta ataupun sekadar bersenang-senang.”
“Ayah beruntung mendapatkan perempuan sebaik ibu. Tapi aku? Satu-satunya perempuan yang aku cintai kini telah pergi.”
“Jangan menyerah dulu, Nak. Cuti doktermu ‘kan masih tiga hari lagi. Bagaimana kalau besok Ayah ajak kau jalan-jalan keliling Jakarta? Kita santai dan cari makan yang enak. Siapa tahu kamu bisa melupakan Putri-mu dan mendapatkan pengganti yang lebih baik.”Genta tidak langsung menjawab.
“Ayolah, Nak. Ayah yang akan jadi sopirmu. Kau tinggal duduk di jok depan. Oke?” Lama baru Genta mengangguk.
“Baiklah, Ibu ikut?”
“Tidak. Ini urusan laki-laki, Nak,” sahutku seraya tertawa. Hari pertama aku mengajak Genta berkeliling Mal Pondok Indah.
Mal yang terletak di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan itu selalu ramai dikunjungi orang-orang berduit. Hanya dalam hitungan jam kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan perempuan muda, cantik dan seksi, keluar masuk mal. Umumnya mereka mengenakan pakaian yang menonjolkan lekuk-lekuk fisiknya, seperti dada, udel, pantat, paha, ketiak dan punggungnya.
Seusai Maghrib aku mengajak Genta nonton film di Kartika Chandra 21 yang terletak kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, tepatnya Jalan Gatot Subroto. Di sini banyak sekali pasangan yang datang menonton. Umumnya perempuan-perempuannya mengenakan gaun malam yang seksi dan terbuka.
Banyak juga yang memakai rok mini ataupun celana blue jean ketat di bawah pinggang sehingga sering kali memperlihatkan celana dalam pemakainya. Hari kedua aku mengajak Genta pergi ke kantor sebuah bank syariah.
“Ayah mau setor tabungan dulu sekaligus mau buka rekening khusus zakat. Mau ikut masuk?” Genta mulanya enggan.
“Ayolah.” Akhirnya ia mau juga ikut. Kami menemui salah seorang customer service officer. Laili namanya.
“Assalaamu’alaikum, Pak Irwan. Ada yang bisa saya bantu?” suaranya bening dan terkesan manja, namun tidak dibuat-buat. Balutan jilbab coklat itu tak mampu menyembunyikan posturnya yang semampai dan wajah selembut kabut.
“Wa’alaikumsalaam, Mbak Laili. Saya ingin membuka rekening khusus untuk zakat. Oh, ya, kenalkan ini anak sulung saya. Genta. Genta, ini Mbak Laili.”
“Assalaamu’alaikum, Mas Genta.”
“Wa’alaikumsalaam, Mbak Laili.”
“Genta kerja di gedung ini juga, Mbak Laili. Lantai 12.”
“Oh, ya?” Laili agak terkejut.
“Kalian pasti enggak pernah bertemu ‘kan? Inilah penyakit zaman modern, orang-orang berkantor di satu gedung tapi bisa bertahun-tahun tak pernah berjumpa,” kataku sambil tertawa. Bibir tipis Laili mengukir segurat senyum.
“Soalnya Mas Genta enggak pernah buka tabungan di bank syariah. Duitnya disimpan di bank konvensional semua ya?”
Laili punya selera humor yang bagus. Kulihat Genta tersenyum kecil.
“Insya Allah saya akan buka rekening di bank syariah, Mbak.” Keluar dari bank syariah itu, aku mengajak Genta menghadiri pameran buku Islam di Istora Senayan Jakarta. Pameran yang menampilkan puluhan penerbit Islam itu setiap hari dihadiri oleh puluhan ribu orang. Berbeda dengan pemandangan di Mal Pondok Indah dan KC-21, di sini kebanyakan perempuan muda yang datang mengenakan jilbab. Wajah mereka kelihatan bersih dan matanya lebih suka menunduk ketimbang jelalatan mencari perhatian lelaki.
Seusai menonton pameran buku, aku mengajak Genta mampir di Hotel Gran Melia, yang terletak di Jl HR Rasuna Said. Kami memesan es lemon tea dan pisang goreng keju.
“Oke. Mari kita bahas perjalanan dua hari kita. Kamu masih ingat perempuan-perempuan muda di Mal Pondok Indah dan KC-21 kemarin?” Dia cuma mengangguk.
“Wanita-wanita seperti itu menyenangkan untuk dilihat dan dibawa ke pesta-pesta, tapi belum tentu membuatmu bahagia. Sebaliknya perempuan-perempuan muda berjilbab yang kita saksikan di pameran buku Islam dan bank syariah tadi, mereka lebih mungkin membuatmu menjadi seorang lelaki yang dihargai dan meraih kebahagiaan sejati. Ayah yakin, di antara mereka itu pasti ada perempuan impian.”
“Seperti apakah perempuan impian itu, Yah?” Aku menyeruput es lemon tea yang tinggal separoh.
Kemudian mencomot sepotong pisang goreng keju. Genta menunggu dengan tidak sabar.
“Seperti apa, Yah?”
“Kalau kamu bertemu dengan seorang perempuan yang berpadu pada dirinya kehangatan seorang Siti Khadijah, serta kemanjaan dan kecerdasan seorang Siti Aisyah dua di antara istri-istri Rasulullah itulah perempuan impian.”
“Seandainya aku menjumpai perempuan yang seperti itu, apa yang harus aku lakukan?”
“Jangan tunggu esok atau lusa. Telepon Ayah saat itu juga. Ayah akan segera melamarkannya untukmu, dan kau harus menikah dengannya paling lambat seminggu setelah itu. Jika kamu mendapatkan perempuan seperti itu dalam hidupmu, dunia ini kecil dan nyaris tak berarti. Rasul pernah berkata, bahwa seorang perempuan yang salehah lebih berharga dari dunia ini beserta isinya.”
Seminggu kemudian. Aku tengah menulis sebuah ficer tentang pengoperasian bus way di Jakarta ketika HP-ku berdering.
Dari Genta:
“Ayah, aku sudah dapatkan calon istri. Seorang wanita salehah yang bisa membuatku hidup bahagia.” Suaranya terdengar bersemangat.
“Oh, ya, siapa namanya?”
“Nantilah Ayah akan aku kenalkan.”
Berselang lima menit kemudian, Yanti, staf humas bank syariah menelepon. “Assalaamu’alaikum, Pak Irwan. Tadi Genta buka rekening di bank syariah. Dia mengobrol cukup lama dengan salah seorang customer service officer kami. Bapak pasti tahu yang saya maksudkan.”
Aku menutup Nokia 9500 itu. Lalu memandang ke luar jendela kantor.
“Alhamdulillah. Akhirnya kau temukan perempuan impianmu, Nak.”

sumber :http://ciptoadhisetiawan.blogspot.com —> anonim

19.32 | Posted in | Read More »

Calon Buat Ajeng

Penulis : Asma Nadia

Calon Suami???!

Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih trend di rumah, selain soal suami.

Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun, ikut-ikutan menceramahiku.

”Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin berkeluarga. Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’. Tika aja yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”

”Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih, kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.

Aku hanya bisa melotot, nemu di mana lagi pendapat kayak gitu.

”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.

”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.

Huhh, dasar kembar!

***

”Ajeng…!”

Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar. Setelah merapikan jilbab, aku keluar.

”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki, duduk di sudut ruangan.

Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….

Benar saja.

“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”

”Boy, Tante!”

”Eh, iya. Boi!”

Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!

Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.

Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya yang melulu berbau luar negeri.

”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa setiap kali holiday!”

Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami. Benar-benar nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut. Kupanjatkan syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang. Alhamdulillah!

***

Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita panjang lebar minta advise, kok cuma diketawain?!?

”Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.

”Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak, sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di Al-Quran.

Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy. Astaghfirullah!

”Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan, milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia akhirat!”

Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali menggodaku.

”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”

Lemparan bantalku kembali melayang.

***

Kriiiiing…!!!

Ups, kumatikan bunyi weker yang membangunkanku. Jam tiga lebih seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup suara kaset murattal terdengar.

Tercapai juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya rupanya.

Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku nanar menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di penghujung usia dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang biasa hadir di sana. Mungkin hilang termakan usia. Ya Rabbi, pantas saja Papi dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang tua, lagi!

”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.

”Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur. Bagaimana pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia yang menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih pasti. Ada kematian, maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan kepada saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami yang tak kunjung datang.

”Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan, hal yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah. Boleh jadi calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga. Mungkin Allah ingin memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua tahun yang lalu.

Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….

Tanganku masih menengadah, berdoa, saat kudengar azan Subuh berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, untuk satu hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.

***

Selesai berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku cuma bisa manggut-manggut.

”Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka. Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di Jawa. Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!” promosi Tante Ida bersemangat.

Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.

”Junaedi. Panggil aja Juned!”

Aku hanya mengangguk. Tak membalas uluran tangan yang diajukannya.

Selama pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar membuatku mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung sebatang. Persis lokomotif uap jaman dulu!

Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.

”Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat perempuan yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna dan mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang warna-warnanya cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang dipakai artis-artis kita yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak apa-apa toh sedikit kelihatan leher atau betis?! Maksudku biar tidak terlihat seperti karung berjalan gitu lho, Jeng! Hahaha….”

Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku mohon diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.

Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.

”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama asap rokoknya itu, lho. Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok. Mana kelihatannya Juned perokok berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin.”

Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.

”Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned. Udah ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur.”

Bujukan Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami. Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa, sedih. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!

Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun rintik-rintik.

***

Siang begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya. Namun buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat kuperlukan untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia harapanku untuk bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang kutumpangi benar-benar penuh. Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong ke sana ke mari, terdesak penumpang yang lain.

”Assalamu’alaikum!” perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di kepala, tampak menemani beliau. Jangan…jangan….

”Wa’alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang. Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di Kalimantan. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini. Lho, Ajeng…, kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu orangnya.”

Duhh, Mami!

Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar ceramah di Wali Songo, pekan depan.

Selama Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main. Lalu ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat, dan lain-lain yang senada.

Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika kita justru berusaha mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah memperlebar jurang perbedaan.

”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan perhatian.

”Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane, tidak seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan sewajarnya. Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.

Gantian aku yang bingung.

”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.

”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana, hingga Ajeng sulit memahami?”

Aku tambah melongo.

”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin bingung.

”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”

Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan masalah lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani pringas-pringis menahan geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya. Lucu sekali.

”Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan dengan sabar.

Tampak Saleh manggut-manggut.

”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh optimis, lalu….

”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”

Tawa Rani meledak.

Duhhh, Mami!!!

***

Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga, malah Mami yang marah.

”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.

Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas, kamu de’! Bisikku gemas.

”Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak mendekati menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada bukti. Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab sampai kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia Ajeng sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.

”Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar bisa tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap. Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng, Mi…tolong!” Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk pundakku. Rani dan Reno terdiam di kursinya.

”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.

***

Kesibukanku menulis diary terhenti.

”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.

”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau terima!” balasku agak keras.

Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.

Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami bergeser. Mami tidak lagi menyodorkan calon-calonnya, sebelum menanyakan kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan kecewa karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.

Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:

Kepada Calon Suamiku….

Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.

Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap, tahun-tahun yang berlalu, meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan pernah memudarkan ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di jalan-Nya.

Ujian pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi, satu embel-embel gelar kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga mengambil kursus jahit dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti mengakui, bahwa kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.

Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi untuk menulis, dan memberikan berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid. Baru sedikit itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas nikmat-Nya yang tak terhitung.

Calon suamiku….

Aku maklum, bila sampai detik ini kau belum juga hadir. Permasalahan yang menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya membentuk satu daftar panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu semata-mata karena kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya sedikit orang terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal itu akan membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.

Calon suamiku….

Namun jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini, bila kau sudah siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini, yang akan menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak usah kau cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih sambilan. Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya pada Allah. Jika Dia senantiasa memberikan rizki, padahal kita tidak dalam keadaan jihad di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan menelantarkan kita, sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!

Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau berada. Insya Allah, doaku selalu menyertai usahamu.

Wassalam,

Adinda

NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?

”Syahril… Nama saya Syahril.”

Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar suara Papi memanggilku.

”Ajeng…!”

Hampir aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang berdiri dengan senyum khasnya.

”Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho, kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.

Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.

”Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya Nak?”

Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.

”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”

Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.

“Insya Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju, khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa jihad bareng….”

Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar, melirikku.

”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”

Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.

Aku masih terpana.

Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???


Sumber : Majalah Annida, No. 12 1415 H/1994 M

07.22 | Posted in | Read More »

Kontak Saya



Nich kontak email Saya, Saya cantumin Alamat email Saya dibawah?



Email :


ikhwan.siip@gmail.com

ikhwan.siip@yahoo.co.id





Terima Kasih

07.14 | Posted in | Read More »

Tentang Saya


Asllkum.Wr.Wb Dan Salam Sejahtera Para Pengunjung


Halo semua, pastinya kalian belum tau atau kenal Saya ya?

Okelah kalo begeto, Saya maklumin, heheheee...

Ya udah kalo begeto Saya mau memperknalkan diri Saya dulu.

Perkenalkan Nama Saya Ikhwan M N

Kebetulan Saya pengangguran kelas berat, kalo ada yang mau ngasih kerjaan ke Saya juga ga pa pa kok, malah Saya terima dengan senang hati. asalkan hallal.
hehehee.....!!!

Cry kalo Saya promosi, tapi emang kenyataan yg Saya alami


Hmm..... Kayanya segini cukup dech perkenalan dari Saya


Eitz.., kalo ada yg kurang dipahami bisa kontak Saya

Melalui email atau facebook yg sudah Saya cantumin di blog ini



Oea, Makasih ya atas Kunjungan Anda ke BLOG Saya ini, Sory kalo masih acak2an BLOG Saya,' maklum baru belajar ngeblog nich.
Thanks..... BGT Lah Anda sudah mampir ke blog Saya

06.56 | Posted in | Read More »

Keluar Silahkan Follow Dan Klik Suka...!
Inovasi Hidup : ADVsiip

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added